Pages

Kamis, 16 Februari 2012

SESAL TAK DATANG DULUAN

Nawa dan Mika, persahabatan mereka dimulai sejak mereka bersekolah di sebuah sekolah dasar yang sama hingga mereka berumur 15 tahun dan sekarang berada di SMP yang sama pula. Mereka sudah seperti siput dan cangkangnya, kemana pun pergi selalu berdua dan sulit untuk terpisahkan.

Suatu hari mereka sedang surat-menyurat menggunakan secarik kertas kecil di kelas karena merasa bosan dengan pelajaran. Tiba-tiba kertas mereka diambil dan dibaca oleh gurunya di depan semua siswa. Teman-teman sekelasnya tertawa karena kertas itu berisi daftar 10 cowok terganteng di sekolah mereka. Berdiri di depan kelas harus mereka terima sebagai hukuman. “Lucu ya, kita ngapain-ngapain berdua, sampai dihukum pun bareng.” kata Mika. Mereka berdua pun tertawa hening.

Saat istirahat Mika bercerita kepada Nawa kalau dia sedang dekat dengan seorang cowok. “Na, aku seneng banget bisa deket sama dia, doa’in aku bisa jadian sama dia ya.” “Iya, pasti. Kalau kamu seneng aku juga seneng kok Mik.” Mika pun melanjutkan ceritanya tentang SMS dari Sandy semalam. Nawa terlihat antusias mendengarkan cerita dari sahabatnya itu.

Tanpa disadari oleh Mika, ternyata Nawa juga menaruh perasaan terhadap Sandy. Dia merasa sangat kesal, lalu diam-diam dia menuliskan kekesalannya itu di situs pribadinya. Merasa dikhianati, dia menuliskan semua keburukan sahabatnya lewat internet. “Sahabat macam apa kamu? Tega banget nyakitin hati sahabatmu sendiri. Setiap hari isi ceritamu Sandy melulu. Kupingku panas tau! Mulai saat ini NAWA BUKAN SAHABAT MIKA lagi!”

Keesokan harinya saat di sekolah Nawa bertemu dengan Mika, sikapnya tidak berubah, tetap riang dan heboh tak ada rasa kesal sedikitpun. Mika memberitahu Nawa kalau tadi malam dia ditembak Sandy dan ia menerimanya. “Aku gak nyangka kalau dia bakalan nembak aku secepat itu, tapi aku seneng akhirnya aku punya pacar.” “Selamat ya Mik! Aku juga ikut seneng buat kamu. Pajak Jadian-nya mana nih?” “Oh iya, ya udah, kita ke kantin yuk!” Nawa tersenyum di depan Mika tapi amarahnya semakin menjadi-jadi di dalam dirinya.

Berminggu-minggu berlalu, persahabatan Nawa dan Mika tetap terjalin. Sampai seorang teman mereka memberitahu Nawa kalau Mika sering membicarakan dirinya. “Mika itu sering cerita kalau kamu itu suka sama Sandy dan pengen ngerebut pacarnya dari dia.” kata teman Nawa penuh keyakinan. Nawa langsung marah dan menghampiri Mika. “Hei, Mik! Kamu jahat banget sih! Aku gak pernah suka sama Sandy dan gak pengen ngerebut dia dari kamu! Aku kecewa sama kamu! Mulai saat ini, kita putus sahabatan!” Mika tak bisa bicara karena dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan merasa sedih karena sikap sahabatnya tadi.

Amarah Nawa sudah tak dapat terbendung lagi, seperti biasanya ia mencurahkan perasaanya lewat internet. “Aku bener-bener udah gak tahan lagi sama sikap kamu. Setiap hari aku nahan hati buat kamu. Tapi balasanmu apa coba? Kamu udah ngerebut gebetanku dan sekarang ngehasut aku. Aku memang suka sama Sandy, tapi gak pernah ada niatan buat ngerebut dia dari kamu. Gue benci banget sama elo.”

Mereka berdua tidak bertegur sapa selama berhari-hari. Seminggu setelah itu Mika sakit parah. Tiba-tiba ada berita kalau Mika sudah meninggal. Nawa sangat terkejut dan tidak percaya pada berita itu. Dia sedang menangis di kelas saat Sandy masuk dan menyerahkan sebuah surat. “Ini dari Mika buat kamu. Seminggu yang lalu Mika minta putus dan memintaku menyerahkan surat ini ke kamu saat waktu yang tepat. Mungkin ini waktu yang dimaksud Mika.” kata Sandy sedih. Nawa membuka surat itu dan membacanya.

“Dear, Nawa. Maafkan aku gak bisa jadi sahabat yang baik buat kamu. Aku gak tau kenapa kamu tiba-tiba marah sama aku. Lalu aku membuka situs pribadimu untuk mencari tahu. Bodohnya aku baru saja sadar. Jika aku mengetahuinya lebih awal aku tak akan menerima Sandy. Tapi itu sudah terlanjur. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, kamu udah jadi sahabat yang paling baik buat aku. Aku ingin melihatmu tersenyum dari tempatku berada sekarang.”

Air mata Nawa deras mengalir. Dia tidak sempat meminta maaf pada Mika. Tidak sempat merubah sikapnya. Tidak sempat menjadi sahabat sejati baginya. Tapi itu semua hanya dapat tertuang dalam penyesalan. Dia baru saja menyadari sahabat sejatinya telah pergi.

Oktania Imas Widyasmoro

0 komentar:

Posting Komentar